Selasa, 26 Mac 2013

Syarat Diterimanya Amalan


Syarat Diterimanya Amalan

Posted  
Ditulis oleh Salafy Kendari
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji hanyalah milik Allah subhanahu wata’ala, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga kepada seluruh shahabat dan keluarga serta yang mengikuti Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hari akhir. Amma ba’adu.
Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin yang semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan hidayah kepada kita semua untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak akan menerima suatu amalan apa saja dari siapapun kecuali setelah terpenuhi darinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsip yaitu:
1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah ‘azza wa jalla semata, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah subhanahu wata’ala.
2. Kaifiyat amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalil dari kedua syarat tersebut disebutkan oleh Allah subhanahu wata’ala di beberapa tempat dalam Al-Qur’an di antaranya:
“Yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”. [Q.S Al Mulk: 2]
Berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (18/250) menafsirkan firman Allah subhanahu wata’ala
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
yaitu: yang paling ikhlasnya dan yang paling benarnya. Karena sesungguhnya amalan jika dida sari rasa ikhlas akan tetapi belum benar maka tidak akan diterima dan jika amalan itu benar akan tetapi tidak ikhlas maka tidak diterima juga sampai amalan tersebut ikhlas dan benar.
Yang ikhlas adalah hanya untuk Allah subhanahu wata’ala semata dan yang benar adalah berada di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam ibadahnya kepada Tuhannya”. [Al-Kahfi: 110]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya ketika mentafsirkan ayat di atas
فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صٰلِحًا
yaitu: yang hanya diinginkan dengannya wajah Allah ‘azza wa jalla tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Inilah dua rukun dari amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah ‘azza wa jalla dan benar di atas syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syarat pertama:
Pemurnian keikhlasan hanya kepada Allah subhanahu wata’ala
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah ‘azza wa jalla serta meninggalkan dan berlepas diri dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Sesunguhnya kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan-memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” [Q.S Az Zumar: 2-3]
Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama’.” [Q.S Az Zumar: 11]
Selanjutnya Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam ayat lain:
“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku’.” [Q.S Az Zumar: 14]
Juga firman Allah subhanahu wata’ala:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. …” [Q.S Al Bayyinah: 5]
Keihklasan yang diinginkan di sini adalah mencakup dua perkara:
1. Lepas dari syirik asghor (kecil) berupa riya’ (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), keinginan mendapat balasan duniawi dari amalnya dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk ketidak ikhlasan karena semua niat-niat di atas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam hadits Qudsy:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ مَعِيْ فِيْهِ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
“Siapa saja yang beramal dengan satu amalan apapun yang dia memperserikatkan Saya (Allah) bersama selain Saya dalam amalannya tersebut maka akan Saya tinggalkan dia bersama sekutunya tersebut”. [Riwayat Muslim dari Abu Hurairah]
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Q.S Hud: 15-16]
2. Lepas dari syirik akbar (besar) yaitu menjadikan sebahagian atau seluruh amalan ibadahnya untuk selain Allah subhanahu wata’ala dan perkara yang kedua ini lebih berbahaya, tidak hanya membuat ibadahnya sia-sia dan tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala bahkan seluruh ibadah yang telah diamalkan akan terhapus. Allah subhanahu wata’ala mengancam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Nabi seluruhnya dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah seluruh amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az Zumar: 65]
Dan semakna dengan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surah Al-An’am ayat 88:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”
Syarat kedua:
Pemurnian ittiba’ (pengikutan) kepada Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Ini adalah konsekuensi syahadat yang kedua yaitu persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah ‘azza wa jalla kepada para hamba agar mengajari mereka cara penyembahan kepada Allah ‘azza wa jalla, dan ini juga merupakan rukun syahadat yang kedua ini yaitu: tidak menyembah Allah ‘azza wa jalla kecuali dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka Allah subhanahu wata’ala tidak boleh disembah dengan cara-cara yang bid’ah (tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan shohabatnya), tidak pula dengan hawa nafsu, adat-istiadat, kebiasaan, perasaan, atau anggapan-anggapan yang baik karena sesungguhnya asal dari ibadah itu haram kecuali ada nash perintah dari Allah subhanahu wata’ala atau dari Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S Ali Imran: 31]
Berkata Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “ayat yang mulia ini adalah hakim atas semua orang yang mengaku mencintai Allah ‘azza wa jalla akan tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam karena sesungguhnya dia dusta dalam pengakuannya tersebut sampai dia mengikuti syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan agama kenabian pada seluruh ucapan dan perbuatannya”. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan Aku ridhoi Islam sebagai agama kalian.” [Q.S Al Maa’idah: 3]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “ini adalah nikmat terbesar dari seluruh nikmat Allah ‘azza wa jalla atas umat ini yaitu Allah subhanahu wata’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya dan tidak pula membutuhkan Nabi selain Nabi mereka. Oleh karena itulah Allah subhanahu wata’ala menjadikan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi, mengutus Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seluruh manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal kecuali apa yang Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam halalkan, tidak ada yang haram kecuali apa yang Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam haramkan dan tidak ada agama kecuali apa yang Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam syari’atkan”.
Maka siapa saja yang beramal dengan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka amalan tersebut tertolak dan sia-sia di sisi Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 23:
“Dan kami hadapkan kepada amalan yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak.” [Riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan dalam riwayat Muslim rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan itu tertolak.”
Mungkin ada yang bertanya, apa ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan ittiba’ (mencocoki) apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?? Maka ittiba’ itu dapat terwujud dengan 6 perkara:
1. Sebab pelaksanaannya: Yaitu siapa saja yang beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan sebab yang tidak disyari’atkan Allah subhanahu wata’ala maka ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala.
Contohnya: Seorang yang merayakan hari maulid (kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan alasan sebagai bentuk kecintaan dan mengirimkan sholawat pada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ini bukan ittiba’ walaupun mencintai dan bersholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ibadah, akan tetapi tatkala menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sebab untuk melakukan ibadah tersebut padahal Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menjadikan hal ini sebagai sebab untuk mencintai dan bersholawat pada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan dari kalangan shohabat yakni Abu Bakar, Utsman, ‘Umar dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum tidak pernah melakukan perayaan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana mereka terkenal kecintaan dan pembelaannya terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada satupun riwayat baik yang shohih maupun yang dho’if menjelaskan perbuatan mereka. Maka perayaan ini jelas bukanlah bentuk ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Jenisnya: Misalkan dalam hewan kurban, syari’at telah menentukan dari jenis bahimatu an’am (binatang ternak) yaitu onta, sapi, domba dan kambing, ternyata ada yang menyembelih kuda maka ini bukan jenis yang ditentukan oleh syari’at sehingga orang yang menyembelih kuda tidak dianggap sebagai udhiyyah (kurban).
3. Ukurannya: Misalnya ada yang sholat subuh empat rakaat maka ini tidak diterima oleh Allah ‘azza wa jalla karena menyelisihi syari’at yang mana sholat subuh adalah dua rakaat.
4. Sifatnya: Misalnya ada yang wudhu mendahulukan mencuci muka sebelum tangan atau sholat dimulai dengan sujud.
5. Waktu pelaksanaannya: Bila ada orang sholat subuh sebelum munculnya fajar shodiq atau menyembelih hewan kurban sebelum sholat Idul Adha.
6. Tempat pelaksanaannya: Misalnya ada orang thowaf kepada Allah ‘azza wa jalla di kuburan para wali atau i’tikaf di kamar rumahnya maka ini tidak akan diterima karena thowaf disyari’atkan di Ka’bah dan i’tikaf disyari’atkan di masjid.
Semoga Allah ‘azza wa jalla senantiasa membimbing kita untuk selalu ikhlas dalam ibadah pada-Nya dan juga menuntun kita untuk mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga ajal menjemput kita dan semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang barang siapa meminumnya maka tidak akan merasa haus selamanya dan semoga pula kita tidak termasuk orang-orang yang terusir dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yakni dari golongan pelaku dosa-dosa besar dan orang-orang yang mengadakan perubahan (dalam urusan agama) sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam shohih Bukhari, shohih Muslim, Imam Ahmad, dan selainnya.
وَالله ُتَعَالىَ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ
Maroji’ (rujukan):
Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.
Al Qoulul Mufid fi Adilati Tauhid

Tiada ulasan:

Catat Ulasan