Ahad, 14 April 2013

Kisah Sejarah Dinasti Ghaznawi


PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI GHAZNAWI
A. Pendahuluan
Daulah ‘Abbâsiyah berawal dari tahun 132H/656 M s/d 750 H/1256 M dapat dibagi ke dalam beberapa periode: periode pertumbuhan, perkembangan, dan periode kemunduran. Periode pertumbuhan dimulai pada masa Khalifah Abû al-’Abbâs al-Saffâh (656-754 M) yang kemudian dilanjutkan oleh saudaranya Khalifah Abû Ja’far al-Manshûr (754-775 M). Periode perkembangan ini bisa bertahan hingga masa Khalifah Harûn al-Rasyîd (786-809 M) dan putranya, Khalifah al-Ma’mûn (813-833 M).Luasnya wilayah kekhalifahan mengakibatkan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah kurang terjalin dengan harmonis;Periode selanjutnya Daulah ‘Abbâsiyah mulai mengalami kemunduran yang disebabkan oleh beberapa faktor yang ditandai dengan munculnya raja-raja kecil dalam wilayah kekuasaan ‘Abbâsiyah. Faktor-faktor tersebut antara lain:
  1. Ketergantungan khalifah kepada tentara yang cukup dominan dalam pemerintahan;
  2. Keuangan negara yang mengalami defisit, karena biaya yang dikeluarkan untuk keperluan tentara sangat besar. Di samping itu khalifah tidak mampu memaksa daerah-daerah mengirim pajak ke pusat.[1]
Kondisi itulah yang mendorong penguasa di daerah maju selangkah membentuk pemerintahan otonom yang secara duniawi telah merdeka, tetapi dari aspek agama masih mengakui kekhalifahan ‘Abbâsiyah di Baghdad. Di antara penguasa daerah yang muncul sebagai pemerintah otonom adalah dinasti Samaniyah di Transoxania dan dinasti Ghaznawi di Afghanistan. Makalah ini akan mencoba memaparkan dinasti Ghaznawi tersebut sebagai daerah otonom yang sudah merdeka dari kekuasaan Khalifah ‘Abbâsiyah di Baghdad, walaupun secara spiritual masih mengakui hegemoni keagamaan khalifah di Baghdad.
B. Pembahasan
1. Proses Berdirinya Dinasti Ghaznawi
Cikal bakal berdirinya Dinasti Ghaznawi diawali oleh Alpatigin (seorang keturunan Turki yang menjadi perwira militer pada Dinasti Samaniyah di Transoxania Asia Tengah). Ia diangkat sebagai gubernur di Khurasan Asia Tengah pada tahun 955 M. Pada tahun 1962 M Alpatiginmelakukan ekspansi ke arah timur, tepatnya ke Afghanistan bagian timur. Di wilayah iniAlpatigin menaklukkan dan menguasai kota Ghazna beserta daerah-daerah di sekelilingnya.[2]
Pada tahun 963 M Alpatigin meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya yang bernamaIshâqIshâq yang kurang cakap dalam memerintah akhirnya harus merelakan tahta kekuasaanya jatuh ke tangan keturunan Turki yang lain, yaitu Baltigin yang kemudian digantikan pula oleh Piri. Tahun 977 M Piri diserang oleh seorang perwira yang bernamaSabuktigin, yang tidak lain adalah menantu dari AlpatiginSabuktigin selanjutnya berkuasa sampai tahun 997 M.[3]
Kendati Sabuktigin memiliki power dan kekuasaan, agaknya dia masih menganggap kekuasaannya berada di bawah dinasti Samaniyah. Buktinya pada tahun 933 M dia masih mau memberikan bantuan militer kepada dinasti Samaniyah dalam menghadapi pemberontakan. Anaknya yang bernama Mahmûd dibiarkannya menjadi gubernur Khurasan di bawah dinasti Samaniyah. Sedangkan bagi dinasti Samaniyah, sejak dari Alpatiginsampai Sabuktigin dan para penggantinya tetap dianggap sebagai gubernur. Walaupun kadang-kadang ada juga perwira yang melakukan desersi terhadap dinasti tersebut, tetapi secara umum dapat dianggap bahwa Ghazna adalah bagian dari wilayah dinasti Samaniyah.
Para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan siapa sebenarnya yang mendirikan dinasti Ghaznawi. Jurji Zaidân menganggap Alpatigin sebagai pendiri dinasti Ghaznawi, sedangkan Philip K. Hitti berpendapat bahwa Sabuktigin adalah the real founding dinasti Ghaznawi.[4] Menurut hemat penulis, kedua pendapat tersebut dapat dibenarkan, paling tidak Alpatigin adalah sebagai perintis berdirinya dinasti Ghaznawi, sementara Sabuktigin mampu membentuk kekuatan dinasti yang mapan dan wilayah yang luas sehingga kemudian diakui keberadaannya oleh Baghdad. Di masa pemerintahannya, Sabuktigin mampu memperluas daerah kekuasaannya sampai daerah perbatasan India. Bahkan dia dapat mengalahkan Raja Jaipal dari dinasti Rajput di Punjab dalam dua kali penyerangan, kemudian menguasai daerah perbatasan Kabul.[5]
Setelah Sabuktigin wafat pada tahun 977 M/387 H, pemerintahan dipegang oleh putranyaIsmâil Ibn SabuktiginIsmâil hanya memerintah hanya tujuh bulan, dia dinilai lemah dan kemudian digantikan oleh saudaranya Mahmûd ibn Sabuktigin yang sebelumnya adalah gubernur Khurasan. Mahmûd Ibn Sabuktigin adalah tokoh terbesar dalam sejarah perkembangan dinasti Ghaznawi, dia terkenal dengan gelar Sultan Mahmûd al-Ghaznawi (387-421 H /997–1030 M).[6] Bahkan kemudian Khalifah Al-Qâdir Billâh di Baghdad berkenan memberinya gelar Yamîn al-Dawlah.[7]
Dalam masa 30 tahun pemerintahan Sultan Mahmûd al-Ghaznawi, banyak membawa perubahan berupa kemajuan di berbagai aspek. Seperti bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Setelah Sultan Mahmûd al-Ghaznawi wafat, dia digantikan oleh anaknya yang bernama Muhammad ibn Mahmûd. Tetapi Muhammad ibn Mahmûd kurang berpengalaman dan lemah dalam mengelola pemerintahan, sehingga dia tidak diterima oleh pihak tentara. Akhirnya dia digantikan oleh saudaranya Mas’ûd Ibn Mahmûd yang memerintah dari tahun 1031-1041 M.[8]
Pada masa Mas’ud ibn Mahmûd mulai terjadi kemunduran, yang berawal dari penyerbuan orang-orang Bani Saljuk ke beberapa propinsi di Persia. Kemudian diikuti pula oleh sukuGhûr yang ditambah lagi dengan upaya-upaya tokoh-tokoh daerah yang ingin melepaskan melepaskan diri dari kekuasaan pusat.
2. Kemajuan Dinasti Ghaznawi
  1. Aspek Politik
Kemajuan yang dicapai dinasti Ghaznawi, terutama di bawah pemerintahan Sultan Mahmûd al-Ghaznawi dapat dilihat dalam beberapa aspek. Pada masa Sabuktigin, wilayah dinasti Ghaznawi diperluas dengan ditaklukannya beberapa wilayah di Sijistan dan Kusdar. Disamping itu ia mampu mempertahankan Transoxania dan Iran bagian barat dari serbuan Bani Saljuk.[9]
Dalam pemerintahan Sultan Mahmûd al-Ghaznawi, kemajuan bidang politik mencapai puncaknya. Ghazna yang semula adalah kerajaan kecil, yang di sana-sini terdapat reruntuhan bangunan akibat perang, ia bangun kembali menjadi kota yang megah yang kelak menjadi pusat kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kerajaan tersebut menjadi luas, dari pinggir laut Kaspia di utara hingga sungai Gangga di India, dari sungai Ozus di Amudarya (Asia Tengah) sampai sungai Indus (pesisir selatan India).[10]
Sultan Mahmûd al-Ghaznawi adalah panglima perang perkasa, dia lebih banyak berada di medan perang daripada “duduk” di istana kebesarannya. Sejarah mencatat, lewat peperangan yang dilakukan, dia mampu menaklukan wilayah Khurasan (1012 M), dataran tinggi Pamir (1000 M), Peshawar, Khasmir dan Bathinda (1004 M), Punjab (1006 M), Kangra (1009), Delhi (1015), Mathura, Kanauj (1019), dan Gujarat (1026).[11]
Sejak tahun 1009 M Sultan Mahmûd memusatkan perhatian untuk menaklukkan anak benua India, yaitu Somnat, tempat pujaan umat Hindu dalam wilayah Gujarat (Khatiawar). Di Somnat Sultan Mahmûd membinasakan kerajaan Gurajat dan menghancurkan Pagoda yang amat terkenal dengan keindahannya, sehingga Sultan Mahmûd sang penakluk digelari “The Idol Brooker” (penghancur berhala). Begitu besar dan bernilainya kuil suci itu bagi umat Hindu, sampai 2000 orang Brahmin dibutuhkan untuk merawatnya. Selanjutnya SultanMahmûd mengganti agama Brahmana dengan Islam.[12]
Boleh dikatakan pada masa itu dibuat pertama kalinya Islam mampu menguasai anak benua India. Diperkirakan selama pemerintahan Sultan Mahmûd telah melakukan 17 kali ekspedisi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Keberhasilan Sultan Mahmûd dalam melakukan perluasan wilayah kekuasaan dan membangun kekuatan militer dan politik, membuat khalifah ‘Abbâsiyah di Baghdad Al-Qadîr Billâh memberikan penghargaan kepadanya dengan gelar Yamîn ad-Dawlah.[13]
Prestasi Sultan Mahmûd yang gemilang tersebut di samping buah dari kecakapannya memerintah, juga ditunjang oleh beberapa faktor, antara lain adalah:
1)     Faktor geografis, Ghazna sebagai ibukota terletak di dataran tinggi yang amat srategis untuk mengamati dan mengontrol lalu lintas ke India;
2)     Pertentangan antara raja-raja di India, sehingga mereka tidak mempunyai kesatuan dalam menghadapi serangan Sultan Mahmûd, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Sabuktigin ketika ia menaklukan Punjab dari dinasti Rajput;
3)     Faktor ideologis tentara Mahmûd yang didorong oleh semangat jihad dan kefanatikan terhadap pemimpin yang kharismatik. Di samping itu mereka juga mengharapkanghanîmah, harta rampasan perang yang tidak sedikit.
b. Aspek Ekonomi
Penaklukan terhadap daerah-daerah yang kaya dan subur memberikan dampak yang sangat besar terhadap kemajuan dinasti Ghaznawi di bidang ekonomi. Harta rampasan yang melimpah dan restribusi pajak yang dikumpulkan dari seluruh daerah taklukan, mampu menghidupkan berbagai aktivitas perekonomian, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan dinasti ini menjadi kerajaan yang makmur. Kemajuan bidang ekonomi sudah barang tentu memberi dampak yang tidak kecil terhadap perkembangan peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahuan, termasuk di bidang militer.
c. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Sastra
Kemajuan di bidang pengetahuan yang dicapai dinasti Ghaznawi salah satunya merupakan buah dari kebijakan Sultan Mahmûd yang memaksa para sarjana kenamaan untuk tinggal dan berkarya dalam wilayah pemerintahannya. Bahkan banyak yang di tempatkan di istananya. Hebatnya kebijakan itu diiringi dengan pemberian fasilitas yang cukup bagi mereka untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sastra.[14] Untuk itu Sultan Mahmûd menyediakan anggaran yang tidak kecil. Tidak kurang dari 400.000,- ringgit emas setiap tahun disediakan untuk keperluan pendidikan, termasuk di antaranya untuk para penyair dan kaum terpelajar.
Sultan Mahmûd juga membangun perguruan tinggi yang diberi nama Unsuri, yang kemudian ternyata mampu mencetak banyak sarjana dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Keberhasilan ini membuat nama Sultan Mahmûd menjadi harum dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke-11 Masehi. Penyair-penyair yang lahir pada masa pemerintahan Sultan Mahmûd yang terkenal di antaranya adalah As’adi Thûsiy, guru dari al-Firdawsi, sastrawan yang dikenal lewat karyanya Syah-mana dan al-Farukhi,[15]keduanya menetap dan berkarya di Ghazna. Ilmuwan lain yang terkenal di antaranya adalahRayhân Muhammad al-Birûni (973-1048 M), yang telah menulis berbagai kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti  Ilmu Alam, Matematika, Astronomi, Sejarah, dan lain lain. Karyanya yang termasyur adalah Tahqîq fî al-Hind (penelitian di India).[16]
Di bidang seni arsitektur, kemajuannya dapat diketahui melalui kemegahan arsitektur istana Ghazna. Mesjid dan menara di kota Ghazna, yang memiliki nilai seni tinggi. Kenyataan ini menjadi indikator yang kuat bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan agama, ilmu pengetahuan, dan peradaban sangat tinggi. Sampai hari ini monumen sejarah tersebut masih dapat dilihat. Sayangnya pada tahun 1842 M, Inggris memindahkan pintu menara mesjid di kota Ghazna tersebut dan makam istana raja di India, karena mereka mengira bahwa benda tersebut merupakan bagian dari Candi/Pagoda di Somnat yang dulu dihancurkan oleh Sultan Mahmûd.[17]
Demikianlah beberapa kemajuan yang telah dicapai oleh dinasti Ghaznawi dalam berbagai aspek. Dinasti Ghaznawi telah menjadi kekuatan besar dalam Sejarah Islam. Dinasti ini telah berjasa dalam menyebarkan Islam ke India, termasuk dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan di wilayah taklukan tersebut.
3. Kemunduran Dinasti Ghaznawi
Awal kemunduran dinasti Ghaznawi dimulai sejak putranya Muhammad ibn Mahmûddiangkat menggantikan bapaknya Sultan Mahmûd yang wafat pada tahun 1030 M.Muhammad ibn Mahmûd tidak disenangi oleh kalangan tentara, sehingga terjadi perebutan tahta dengan adiknya Mas’ûd ibn Mahmûd. Ternyata Mas’ûd ibn Mahmûd adalah pemimpin yang lemah dan tidak mampu melanjutkan keberhasilan yang telah dicapai oleh bapaknya. Penyerbuan Bani Saljuk ke beberapa propinsi dinasti Ghaznawi di Persia memberikan dampak yang besar terhadap dinasti Ghaznawi dalam menuju gerbang kehancurannya. Dalam kondisi ini terjadi pula perbedaan pendapat tajam antara Sultan dengan Dewan Kesultanan. Para personil dewan menginginkan agar perhatian pemerintah lebih difokuskan untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang dicaplok oleh Bani Saljuk dan wilayah-wilayah yang mencoba memisahkan diri. Namun ia menghendaki dan memutuskan melanjutkan penaklukan ke India. Sementara penyerbuan yang dilakukan Bani Saljuk telah menyebar dan sampai ke Khurasan. Berita-berita penyerbuan Bani Saljuk ini pada akhirnya memaksa Sultan Mas’ûd menarik kembali pasukannya dari India.
Pada tahun 1040 M Sultan Mas’ûd mengalami kekalahan besar di Khurasan dalam menghadapi serangan Bani Saljuk. Kekalahan ini merupakan titik klimaks kehancuran dinasti Ghaznawi di Persia. Sultan Mas’ûd sendiri yang kehilangan semangat sempat melarikan diri, yang akhirnya kembali ke istana. Namun dalam perjalanan dia justru dibunuh oleh tentaranya sendiri yang merasa kecewa terhadap berbagai kebijakan yang diputuskan oleh Sultan Mas’ûd.[18]
Sejak tahun 1040 sampai dengan 1050 M pertempuran terus berlangsung antara dinasti Ghaznawi dengan Bani Saljuk, tetapi akhirnya terjadi gencatan senjata selama setengah abad. Sementara itu Afganistan tetap diakui sebagai bagian dari wilayah Ghaznawi. Di samping menghadapi menghadapi serangan Bani Saljuk, ancaman terbesar yang dihadapi Ghaznawi saat itu juga datang dari suku-suku Ghuzz dan Ghûr. Sebagai suku pengembara yang sebelumnya pernah jadi kekuatan inti dari tentara Bani Saljuk, akhirnya mereka juga melawan kepada Bani Saljuk. Kekuatan dan mobilitas tentara suku pengembara ini kemudian benar-benar melumpuhkan kekuatan Ghaznawi di bagian utara. Kemudian munculnya suku Ghûr sebagai kekuatan baru yang juga mengincar bagian wilayah kekuasaan Ghaznawi semakin melemahkan dinasti ini. Ini mengakibatkan posisi Lahore sebagai ibukota kedua Ghaznawi semakin penting bagi para penguasanya.
Pada tahun 1173 M kota Ghazna direbut oleh tentara Ghûr, membuat seluruh penguasa Ghaznawi terpaksa pindah ke Lahore dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan yang baru. Namun pada tahun 1187 M Lahore juga direbut oleh  pasukan Ghûr di bawah pimpinan Ibn Syâm, sehingga penguasa terakhir dinasti Ghaznawi yaitu Khasrav Malim ikut terbunuh. Walaupun dinasti Ghaznawi telah dihancurkan oleh suku Ghûr, akan tetapi sebagai penguasa di sebagian besar wilayah anak benua India, dinasti Ghaznawi banyak menentukan masa depan Islam di Asia Selatan. Orang-orang Ghaznawi mampu mendirikan pemerintahan yang populer dan relatif stabil selama hampir dua abad. Yang lebih penting lagi upaya dinasti Ghaznawi ini kemudian diikuti oleh orang-orang Ghûr dan dan budak-budak Turki. Mereka pada akhirnya menjadi cikal-bakal bagi berdirinya dinasti-dinasti Muslim berikutnya di anak benua India.
C. Kesimpulan
Dinasti Ghaznawi yang didirikan Sabuktigin yang berpusat di Ghazna (Afganistan) telah mencapai kemajuan sewaktu putranya memegang tampuk pemerintahan, yaitu SultanMahmûd ibn Sabuktigin. Dinasti ini mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Kelemahan utama dinasti Ghaznawi sebenarnya terletak pada ambisi kekuasaan para pengganti Sultan Mahmûd, tetapi tidak diiringi dengan kecakapan dalam memerintah. Kondisi ini mempengaruhi kebijakan politik dan kesatuan wilayah, yang pada akhirnya mereka tidak mampu menahan serangan musuh, seperti serangan dinasti Saljuk, suku Ghuzz dan suku Ghûr.
Kendati dinasti Ghaznawi telah berakhir dengan berbagai peristiwa yang menyedihkan, namun keberhasilan membawa Islam ke anak benua India merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dihapus. Hal ini merupakan sumbangan Ghaznawi yang besar terhadap penyebaran dan perkembangan Islam.
Prof. Dr. Maidir Harun

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) IMAM BONJOL

Tiada ulasan:

Catat Ulasan