Jumaat, 17 Ogos 2012

Menanti Aidil Fitri



Ketahuilah, puasa Ramadhan itu adalah media latihan.
Semacam bengkel jiwa. Semacam medan terapi psikologis.
Menahan haus dan lapar, itu adalah pusat pengekangan untuk sebuah pengendalian.
Pengekangan itu diharapkan sebagai sebuah perjuangan, hingga akhirnya memicu kesadaran baru, bahwa manusia pada hakikatnya tidak berdaya dan sekaligus merdeka.

Kenapa tidak berdaya?  
Karena dengan tidak makan dan minum selama satu hari penuh, terasa betapa lemahnya tubuh. Betapa lemahnya semangat kerja. Betapa rentannya emosi untuk labil. Betapa mudah terpancing untuk merasa cemburu, kenapa orang lain hidup berfoya-foya sedang diri sendiri serba kekurangan. Dari sinilah lahirnya kesadaran baru, bahwa manusia, tidak perlu merasa sombong, karena ternyata manusia itu lemah dalam kondisi tertentu. Dari sinilah terbetik rasa empati sosial pada kaum papa. Dari sinila timbul sikap tidak gegabah dalam bersikap dan menilai orang lain. Ternyata kondisi fisik sangat besar pengaruhnya pada sikap dan cara pandang seseorang. Perasaan orang lapar, ternyata berbeda dengan perasaan orang kenyang

Dengan kata lain, manusia merenung kedalam dirinya.
Membaca Sang Aku dengan cermin puasa.

Jika kesadaran itu benar-benar tumbuh sendiri, bukan karena dihafal dan digembar-gemborkan, tapi mencuat dalam kesadaran, refleks, spontan tebetik dari hati yang paling dalam, maka disaat itulah kemenangan sudah tiba. Ternyata umat Islam yang berpuasa itu sanggup mencampakkan semua sampah dan rumput liar yang bersarang dalam dirinya. Mereka berhasil membekuk ego diri. Berhasil mengendalikan diri agar visi hidup yang lebih bermakna dapat mereka raih.

Secara metaforis, disaat itulah Syawal telah tiba. Itulah fajar kemenangan. Anda sudah sampai di negeri sorga kesadaran. Kampung halaman yang bernama fitrah. Dengan kata lain, itulah lebaran hakiki bagi anda. Bukan tanggal lebaran di kalender dan pengumuman pemerintah.

Erianto Anas

Tiada ulasan:

Catat Ulasan