Sabtu, 12 November 2011

Fatwa Ulama


 
Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah :
Soal : Bagaimana hukum syari’at tentang berbilangnya jama’ah-jama’ah, hizb-hizb, dan organisasi-organisasi Islam dengan perbedaan di antara mereka pada masalah manhaj, uslub, dakwah, dan ’aqidahnya, serta dasar yang mereka berada di atasnya, khususnya (ketika kita ketahui) bahwa jama’ah yang haq itu adalah satu sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits ?
Jawab : Kita memiliki banyak kalimat dan bermacam-macam jawaban sekitar hal ini. Oleh karena itu, kita akan meringkas ucapan padanya. Kita ucapkan : ”Tidak samar bagi seorang muslim yang mengerti kitab dan sunnah dan apa yang ada di atasnya as-salafush-shalih radliyallaahu ’anhum bahwa berpartai-partai serta berkelompok-kelompok dalam jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda pemikirannya – pertama – dan manhaj serta uslub – kedua – bukanlah dari Islam sedikitpun. Bahkan yang demikian itu termasuk yang dilarang oleh Rabb kita ’azza wa jalla pada lebih dari satu ayat dalam Al-Qur’an Al-Karim, diantaranya :
”Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Ruum : 31 – 32).
Rabb kita juga berfirman :
”Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Huud : 118 – 119).
Dalam ayat ini Allah tabaraka wa ta’ala mengecualikan dari orang-orang yang berselisih yang pasti akan terjadi secara kauniyyah (taqdir) dan bukan secara syar’iyyah (bukan perintah syar’i). Dia mengecualikan dari perselisihan itu kelompok yang dirahmati. Dia berkata : { إلا مَن رَحِم رَبُك} ”kecuali yang dirahmati oleh Rabb-mu”.
Tidak ada kebimbangan dan keraguan bahwa jama’ah yang menginginkan dengan kesungguh-sungguhan yang tingi dan ikhlash karena Allah ’azza wa jalla untuk menjadi umat yang dirahmati yang dikecualikan dari perselisihan yang mesti terjadi secara kauni ini. Sesungguhnya itu tidak ada jalan lain untuk mencapai kepadanya dan untuk mewujudkan secara amal dalam masyarakat Islam kecuali dengan kembali kepada Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, dan kepada apa yang ada di atasnya para pendahulu kita yang shalih (salafunash-shalih).
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menjelaskan manhaj dan jalan yang selamat tidak hanya dalam satu hadits yang shahih. Misalnya (hadits) : ”Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pada suatu hari menggaris di tanah satu garis lurus, kemudian beliau menggariskan di sekitarnya garis-garis yang pendek dari sisi garis yanglurus tadi. Kemudian beliau membaca firman Allah : ”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am : 153). Dan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melewati dengan jarinya garis lurus tadi dan berkata : ”Ini adalah jalan Allah, dan ini jalan-jalan dari sisi garis lurus tadi” – dan beliau bersabda : ”Dan di atas setiap jalan itu ada syaithan yang mengajak kepadanya”.

Tidak ada keraguan lagi bahwa jalan-jalan yang pendek tersebut itulah yang diperankan oleh jama’ah-jama’ah dan partaipartai yang bermacam-macam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim yang semangat untuk menjadi golongan yang haq dari kelompok yang selamat (al-firqatun-najiyyah) untuk berjalan di jalan yang lurus dan agar tidak mengambil jalan ke kanan dan ke kiri. Tidak ada di sana satu pun hizb yang selamat kecuali hizbullah tabaraka wa ta’ala yang telah sampai kepada kita dalam Al-Qur’anul-Karim :
”Ketahuilah, sesungguhnya hizbullah itulah yang akan menang”.
Kalau begitu, seluruh hizb yang bukan hizbulah, maka tidak lain ia merupakan hizbusy-syaithan dan bukan hizbur-rahman. Dan tidak ada kebimbangan dan keraguan bahwa berjalan di atas jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim) membutuhkan pengetahan tentang jalan yang lurus tersebut dengan pemahaman yang benar. Dan tidak akan terjadi hanya dengan berkelompok, berpartai buta atas kalimat Islam – yang itu merupakan kalimat yang haq – namun mereka tidak memahami Islam tersebut sebagaimana pemahaman yang diturunkan Allah kepada hati Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam.
Oleh karena itu, ciri-ciri golongan yang selamat yang dijelaskan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika ditanya tentangnya adalah :
”Ia adalah siapa saja yang aku dan para shahbaatku berada di atasnya”.
Jadi, hadits ini memberikan pengertian kepada seorang pembahas yang sungguh-sungguh untuk mencari pengertian ash-shiraatul-mustaqiim bahwasannya wajib untuk berada di atas ilmu tentang dua perkara yang sangat penting :
Pertama : apa yang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ada di atasnya.
Kedua : apa yang para shahabat beliau radliyallaahu ’anhum berada di atasnya.
Yang demikian karena para shahabat yang mulia itulah yang menukil kepada kita pertama kali petunjuk Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan sunnahnya – itu yang pertama; sedangkan yang kedua, : merekalah yang paling baik dalam mempraktekkan sunnah ini dengan sunnah amaliyyah. Maka tidak mungkin bagi kita jika keadaan seperti ini untuk mengenal sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dengan pemahaman yang benar kecuali dengan jalan atau dengan melalui para shahabatnya....... Yang membuktikan atas hal ini adalah bahwa pemahaman Islam yang benar tidak ada jalannya kecuali dengan mengetahui sirah para shahabat dan bagaimana mereka mempraktekkan Islam yang agung ini yang telah mereka terima dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam; apakah dengan ucapannya, perbuatannya, atau dengan persetujuannya.
Dengan demikian, kita meyakini dengan mantap bahwa setiap jama’ah yang tidak tegak tomggak-tonggaknya di atas asas Al-Kitab dan As-Sunnah serta manhaj as-salafush-shalih dengan dirasah (pelajaran) yang sangat luas, mencakup segala hukum-hukum Islam, yang besar dan yang kecil, ushul dan furu’-nya, maka jama’ah tersebut bukanlah Al-Firqatun-Najiyyah yang berada di atas ash-shiraathul-mustaqiim yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits yang shahih.
Jika kita anggap ada jama’ah-jama’ah yang berpencar-pencar di negeri-negeri Islam dengan manhaj ini, maka ini bukan hizb-hizb (yang dilarang oleh ayat tadi). Tetapi itu sesungguhnya adalah jama’ah yang satu, satu manhaj dan satu jalannya. Adapun berpencarnya mereka di berbagai negeri bukanlah merupakan perpecahan dalam pemikiran, aqidah, dan manhaj; tetapi mereka berpisah hanya karena terpisahnya tempat-tempat mereka di banyak negeri. Hal itu berbeda dengan jama’ah-jama’ah dan hizb-hizb yang berada di satu negeri, tetapi masing-masing membanggakan apa yang ada pada diri mereka. Kita tidak yakin jika hizb-hizb ini berada di jalan yang lurus. Bahkan kita mantap dengan mengatakan bahwasannya jama’ah-jama’ah tersebut berada di jalan-jalan yang di atasnya ada syaithan yang mengajak kepadanya. Semoga ini adalah jawaban dari apa yang telah lewat”
[selesai – Fatawaa Asy-Syaikh Al-Albani oleh ‘Ukasyah bin ‘Abdil-Manan Ath-Thibi, cet. I, Maktabah At-Turats Al-Islamy, hal. 106 – 114].
Teks Asli :
Fadliilatusy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah :
Soal : Apakah ada nash-nash dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam yang di dalamnya membolehkan berbilangnya jama’ah dan al-ikhwan ?
Jawab : Ya,.... aku katakan : Tidak ada dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah apa-apa yang membolehkan berbilangnya hizb-hizb dan jama’ah-jama’ah. Akan tetapi, yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah adalah mencela yang demikian itu. Allah ta’ala telah berfirman :
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (QS. Al-An’am : 159).
Dan Dia juga berfirman :
”Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Ruum : 32).
Tidak diragukan lagi bahwasannya hizb-hizb inilah yang dinafikkan oleh apa-apa yang diperintahkan Allah dengannya. Bahkan, apa-apa yang dianjurkan oleh Allah padanya (untuk bersatu serta tidak berpecah-belah) adalah seperti firman-Nya :
”Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku” (QS. Al-Mukminuun : 52).
Adapun ucapan mereka : ”Sesungguhnya tidak mungkin bagi dakwah akan menjadi kuat kecuali di bawah sebuah hizb (jama’ah)”.
Kita katakan : ”Ini tidak benar, bahkan sesungguhnya dakwah menjadi kuat jika setiap manusia itu terikat di bawah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallalaahu ’alaihi wasallam dengan mengikuti atsar Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam dan para khalifahnya yang lurus”.
[selesai – kaset : Majmuu’ Kalaamil-’Ulamaa fii ’Abdirrahman ’Abdil-Khaliq (Kumpulan Perkataan Para Ulama terhadap ’Abdurrahman ’Abdul-Khaliq) – side B].

Tiada ulasan:

Catat Ulasan