Oleh: Syaikh Masyhur Hasan
Salman hafizhahullah
Mengeraskan bacaan niat
tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan
kesepakatan seluruh ulama. Bahkan hal tersebut adalah bid’ah yang
bertentangan dengan syari’at. Jika seseorang berkeyakinan bahwa perbuatan ini
adalah bagian dari ajaran syariat, maka ia orang yang jahil, menyimpang, dan
berhak mendapatkan hukuman ta’zir jika ia tetap bersikeras dengan
keyakinannya, dan tentu saja setelah diberikan pengertian dan penjelasan. Lebih
parah lagi jika perbuatannya itu mengganggu orang yang ada di sebelahnya, atau
ia mengulang-ulang bacaan niatnya. Hal ini difatwakan oleh lebih dari seorang
ulama. Di antaranya Al Qodhi Abu Ar Rabi Sulaiman Ibnu As Syafi’i, ia berkata:
الجهر بالنّية وبالقراءة خلف الإمام ليس من السنّة، بل مكروه، فإن حصل به تشويش على المصلّين فحرام، ومن قال بإن الجهر بلفظ النيّة من السنّة فهو مخطئ، ولا يحلّ له ولا لغيره أن يقول في دين الله تعالى بغير علم
“Mengeraskan bacaan niat atau
mengeraskan bacaan Qur’an di belakang imam, bukan termasuk sunnah. Bahkan
makruh hukumnya. Jika membuat berisik jama’ah yang lain, maka haram. Yang
berpendapat bahwa mengeraskan niat itu hukumnya sunnah, itu salah. Tidak halal
baginya atau bagi yang lain berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu (dalil)”
Di antaranya juga, Abu Abdillah
Muhammad bin Al Qasim At Tunisi Al Maliki, ia berkata:
النيّة من أعمال القلوب، فالجهر بها بدعة، مع ما في ذلك من التشويش على الناس
“Niat itu termasuk amalan hati.
Mengeraskannya bid’ah. Lebih lagi jika perbuatan itu membuat berisik orang
lain”
Di antaranya juga, Asy Syaikh
‘Alauddin bin ‘Athar, ia berkata:
ورفع الصّوت بالنيّة مع التشويش على المصلّين حرام إجماعاً، ومع عدمه بدعة قبيحة، فإن قصد به الرّياء كان حراماً من وجهين، كبيرة من الكبائر، والمنْكِرُ على مَنْ قال بأن ذلك من السنّة مصيب، ومصوّبة مخطئ، ونسبته إلي دين الله اعتقاداً كفر، وغير اعتقاد معصية.
ويجب على كل مؤمن تمكَّن مِن زجره، ومنعه وردعه، ولم ينقل هذا النقل عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، ولاعن أحدٍ من أصحابه، ولا عن أحد ممن يقتدى به من علماء الإسلام
“Meninggikan suara untuk
membaca niat sehingga membuat berisik di antara jama’ah hukumnya haram secara
ijma’ (consensus para ulama). Jika tidak membuat berisik, ia adalah perbuatan
bid’ah yang jelek. Jika ia melakukan hal tersebut dalam rangka riya, maka
haramnya ganda. Ia juga merupakan dosa besar. Yang mengingkari bahwa perbuatan
ini adalah sunnah, ia berbuat benar. Yang membenarkan bahwa perbuatan ini
adalah sunnah, ia salah. Menisbatkan perbuatan ini pada agama Allah adalah
keyakinan yang kufur. Jika tidak sampai meyakini hal tersebut, maka termasuk maksiat.
Setiap muslim wajib dengan serius mewaspadai perbuatan ini, melarangnya dan
membantahnya. Tidak ada satupun riwayat dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam tentang hal
ini, tidak pula dari satupun sahabatnya, tidak pula dari para ulama Islam yang
meneladani mereka”. (Semua nukilan di atas dapat ditemukan di Majmu’ah
Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Demikian juga, melafalkan niat
secara sirr (samar) tidak wajib menurut para imam madzhab yang empat juga para
imam yang lain. Tidak ada seorang pun yang berpendapat hal itu wajib. Baik
dalam shalat, thaharah ataupun puasa. Abu Daud pernah bertanya kepada Imam
Ahmad:
بقول المصلّي قبل التكبير شيئاً؟ قال: لا
“Apakah orang yang shalat
mengucapkan sesuatu sebelum takbir? Imam Ahmad menjawab: tidak ada” (Masa-il Al Imam Ahmad, 31)
As Suyuthi berkata,
ومن البدع أيضاً: الوسوسة في نيّة الصّلاة، ولم يكن ذلك من فعل النبي – صلى الله عليه وسلم – ولا أصحابة، كانوا لا ينطقون بشيء من نية الصلاة بسوى التكبير. وقد قال تعالى: لقد كان لكم في رسول الله أُسوة حسنة
“Termasuk bid’ah, was-was dalam
niat shalat. Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau tidak
pernah begitu. Mereka tidak pernah sedikitpun mengucapkan lafal niat shalat
selain takbir. Dan Allah telah berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله أُسوة حسنة
‘Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik‘ (QS. Al
Ahzab: 21).
Imam Asy Syafi’i berkata,
الوسوسة في النية الصلاة و الطهارة من جهل بالشرع أو خبل بالعقل
“Was-was dalam niat shalat dan
thaharah itu adalah kebodohan terhadap syariat atau kekurang-warasan dalam
akal” (Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu
‘Anil Ibtida’, 28)
Melafalkan niat itu menimbulkan
banyak efek negatif. Anda lihat sendiri orang yang melafalkan niat dengan jelas
dan rinci, lalu baru mencoba bertakbir. Ia menyangka pelafalan niatnya itu
adalah usaha untuk menghadirkan niat. Ibnu Jauzi berkata:
ومن ذلك تلبيسه عليهم فِي نية الصلاة ، فمنهم من يَقُول : أصلى صلاة كذا ، ثم يعيد هَذَا ظنا مِنْهُ أنه قد نقض النية والنية لا تنقض ، وأن لم يرض اللفظ ومنهم من يكبر ، ثم ينقض ثم يكبر ثم ينقض ، فَإِذَا ركع الإمام كبر الموسوس وركع معه فليت شعري مَا الذي أحضر النية حينئذ ، وما ذاك إلا لأن إبليس أراد أن يفوته الفضيلة ، وفي الموسوسين من يحلف بالله لا كبرت غير هذه المرة ، وفيهم من يحلف بالله بالخروج من ماله أَوْ بالطلاق ، وهذه كلها تلبيسات إبليس ، والشريعة سمحة سهلة سليمة من هذه الآفات ، وما جرى لرسول اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ولا لأصحابة شيء من هَذَا
“Di antara bisikan Iblis yaitu
dalam niat shalat. Di antara mereka ada yang berkata ushalli
shalata kadza (saya
berniat shalat ini dan itu), lalu diulang-ulang lagi karena ia menyangka
niatnya batal. Padahal niat itu tidak batal walaupun tidak diucapkan. Ada juga
yang bertakbir, lalu tidak jadi, lalu takbir lagi, lalu tidak jadi lagi. Tapi
ketika imam keburu ruku’, ia serta-merta bertakbir walaupun agak was-was demi
mendapatkan ruku bersama imam. Mengapa begini?? Lalu niat apa yang ia hadirkan
ketika itu?? Tidaklah ini terjadi kecuali karena iblis ingin membuat dia
melewatkan berbagai keutamaan. Diantara mereka juga ada yang besumpah atas nama
Allah untuk bertakbir lebih dari sekali. Ada juga yang bersumpah dengan nama
Allah untuk mengeluarkan harta mereka atau dengan talak. Semua ini adalah
bisikan iblis. Syariat Islam yang mudah dan lapang ini selamat dari semua
penyakit ini. Tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam tidak juga para sahabatnya melakukan
hal demikian” (Talbis Iblis,
138)
Penyebab timbulnya was-was
adalah karena niat terkadang hadir di hati si orang ini dengan keyakinan bahwa
niat itu tidak ada di hatinya. Maka ia pun berusaha menghadirkannya dengan
lisannya. Sehingga terjadi apa yang terjadi. Abu Abdillah Az Zubairi, ulama
Syafi’iyah, telah salah dalam memahami perkataan Imam Asy Syafi’i rahimahullahu
ta’ala yaitu ketika menyimpulkan bahwa wajib melafalkan niat dalam shalat dari
perkataan beliau. Ini disebabkan oleh buruknya pemahaman terhadap ungkapan imam
Asy Syafi’i berikut:
إذا نوى حجّاً وعمرة أجزأ، وإنْ لم يتلفّظ وليس كالصّلاة لا تصح إلا بالنّطق
“Jika seseorang berniat haji atau
umrah maka itu sah walaupun tidak diucapkan. Berbeda dengan shalat, shalat
tidak sah kecuali dengan pengucapan”
Imam An Nawawi berkata:
قال أصحابنا: غلط هذا القائل، وليس مراد الشافعي بالنّطق في الصّلاة هذا، بل مراده التكبير
“Para ulama madzhab kami
berkata, yang berkata demikian telah salah. Bukanlah maksud Imam Asy Syafi’i
itu melafalkan niat dalam shalat, namun maksudnya adalah takbir” (Al Majmu’, 3/243)
Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi
berkata:
لم يقل أحد من الأئمة الأربعة، لا الشّافعيّ ولا غيره باشتراط التلفّظ بالنيّة، وإنما النيّة محلّها القلب باتّفاقهم، إلا أن بعض المتأخرين أوجب التلفّظ بها، وخرج وجهاً في مذهب الشافعي! قال النووي رحمه الله: وهو غلط، انتهى. وهو مسبوق بالإجماع قبله
“Tidak ada seorang imam pun,
baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat
itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam). Hanya
segelintir orang-orang belakangan saja yang mewajibkan pelafalan niat dan
berdalih dengan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i. Imam An Nawawi
rahimahullah berkata itu sebuah kesalahan. Selain itu, sudah ada ijma dalam
masalah ini” (Al Ittiba’, 62)
Ibnul Qayyim berkata:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat beliau
mengucapkan الله أكبر dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya.
Beliau juga tidak pernah sama sekali melafalkan niat. Beliau tidak pernah
mengucapkan ushallli lillah shalata kadza mustaqbilal qiblah
arba’a raka’atin imaaman atau ma’muuman (saya meniatkan shalat ini untuk
Allah, menghadap qiblat, empat raka’at, sebagai imam atau sebagai makmum).
Beliau juga tidak pernah mengucapkan ada-an atau qadha-an juga tidak mengucapkan fardhal
waqti. Ini semua adalah bid’ah. Dan sama sekali tidak ada satu pun
riwayat yang memuat ucapan demikian, baik riwayat yang shahih, maupun yang
dhaif, musnad, ataupun mursal. Juga tidak ada dari para sahabat. Juga tidak ada
istihsan dari seorang tabi’in pun, atau dari ulama madzhab yang empat. Ucapan
demikian hanya berasal dari orang-orang belakangan yang menyalah-gunakan
perkataan imam Asy Syafi’i tentang shalat:
إنها ليست كالصّيام ولا يدخل فيها أحدُ إلا بذكر
‘Shalat itu tidak seperti puasa, memulainya harus dengan dzikir’
Mereka menyangka bahwa dzikir di sini adalah melafalkan niat.
Padahal yang dimaksud Asy Syafi’i adalah takbiratul ihram. Tidak mungkin tidak.
Bagaimana mungkin Asy Syafi’i menganjurkan hal yang tidak pernah sekalipun
dilakukan Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam dalam shalat? Juga tidak pernah
dilakukan sahabatnya juga para khalifah. Demikianlah petunjuk dan kebiasaan
mereka. Andai kita menemukan satu huruf saja dari mereka, maka tentu akan kita
terima. Bahkan kita terima dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang
paling sempurna selain dari mereka. Dan tidak ada sunnah kecuali apa yang
datang dari sang pembawa syari’at, Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam” (Zaadul Ma’ad, 1/201)
Ringkasnya, para ulama dari
berbagai negeri dan berbagai generasi telah menyatakan bahwa melafalkan niat
itu bid’ah. Pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut disunnahkan
adalah pendapat yang salah, tidak sesuai dengan pendapat Imam Asy Syafi’i dan
tidak sesuai dengan dalil-dalil sunnah nabawi,
Diantaranya riwayat dari
‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:
كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يستفتح الصَّلاة بالتّكبير
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya
dengan takbir” (HR. Muslim, no.498)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam terhadap orang yang shalatnya jelek,
ketika orang tersebut berkata: ‘kalau
begitu ajarkan saya shalat yang benar‘, beliau bersabda:
إذا قمت إلى الصّلاة فأسبغ الوضوء، ثم استقبل القبلة، فكبّر، ثم اقرأ بما تيسر معك من القرآن
“Jika engkau berdiri untuk
shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat. Lalu bertakbirlah,
lalu bacalah ayat Qur’an yang mudah bagimu”
Dari Abdullah bin Umar
Radhiallahu’anhuma ia berkata:
رأيت النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه
“Aku melihat Nabi Shallallahu’alahi Wasallam memulai shalatnya dengan
takbir, lalu mengangkat kedua tangannya” (HR. Bukhari no.738)
Nash-nash ini dan juga yang
lain yang begitu banyak dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menunjukan bahwa memulai shalat adalah dengan takbir dan tidak
mengucapkan apapun sebelumnya. Hal itu juga dikuatkan dengan ijma para ulama
bahwa :
إذا خالف اللسان القلب، فالعبرة بما في القلب
“Jika ucapan lisan berbeda dengan apa yang ada di hati, maka yang
dianggap adalah apa yang ada di hati”
Jika demikian, lalu apa
faidahnya mengucapkan niat? Jika telah sepakat dan diyakini secara pasti bahwa
apa yang diucapkan itu tidak ada gunanya jika bertentangan dengan apa yang ada
di dalam hati.
Lalu hal ini pun menunjukkan
adanya kegoncangan dalam pendapat orang yang mewajibkan menggandengan niat
dengan takbiratul ihram dan mewajibkan atau menganjurkan niatnya dilafalkan.
Bagaimana bisa melafalkan niat ketika lisan seseorang sibuk mengucapkan takbir?
Dalam hal ini Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata: “Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
لايجوز ما لم يكن الذّكر اللساني مقارناً للقلبي. وأكثر النّاس عاجزون عن ذلك باعترافهم. والذي يدّعي المقارنة، يدّعي ما يردّه صريح العقل. وذلك أن اللسان ترجمان ما يحضر بالقلب، والمترجم عنه سابق قطعاً على أن الحروف الملفوظ بها في النيّة، منطبقة إلى آخر الزّمان، وهي منقضية منصرمة، لا تتصور المقارنة بين أنفسها، فكيف تتصور مقارنتها لما يكون قبلها؟!)
“Tidak boleh melakukan
perbuatan yang ucapan lisannya berbeda dengan ucapan hatinya secara bersamaan.
Dan kebanyakan manusia mengakui mereka tidak bisa melakukan hal itu. Orang yang
mengaku bisa melakukannya pun, ia telah mengakui hal yang ditolak oleh akal
sehat. Karena lisan itu penerjemah apa yang hadir di dalam hati. Dan sesuatu
yang diterjemahkan itu pasti ada lebih dahulu, karena setiap huruf yang
diucapkan itu pasti dilandasi niat. Demikian seterusnya hingga selesai. Yang
setelahnya adalah kelaziman dari sebelumnya. Tidak tergambar menggandengkan
keduanya jika bersamaan, lalu bagaimana lagi menggabungkan sesuatu yang ada
sebelumnya?”
Referensi: Al
Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan
Salman, Dar Ibnul Qayyim, hal. 91-96.
Penyusun: Yulian Purnama