HR. Ibnu Majah: 723, Hakim dalam Al-Mustadrak: 1/205 dan dia mengatakan hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari, dan pendapat ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Mundziri mengatakan dalam At-Targhib wa At-Tarhib: 1/111: "Hadits ini sebagaimana dikatakannya (Hakim). Hadits ini juga dishahihkan oleh Albani dalam kitab Silsilah Hadits Shahih: 42, dan di Shahih Ibnu Majah: 1/226
Ahad, 30 Disember 2012
Bab : Azan
"Siapa
saja yang melakukan Adzan sebanyak dua belas kali dalam setahun maka dia berhak
masuk sorga, dan akan dicatatkan baginya enam puluh kebaikan setiap hari dia
Adzan, dan untuk setiap qomat (dicatatkan ) tiga puluh kebaikan
HR. Ibnu Majah: 723, Hakim dalam Al-Mustadrak: 1/205 dan dia mengatakan hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari, dan pendapat ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Mundziri mengatakan dalam At-Targhib wa At-Tarhib: 1/111: "Hadits ini sebagaimana dikatakannya (Hakim). Hadits ini juga dishahihkan oleh Albani dalam kitab Silsilah Hadits Shahih: 42, dan di Shahih Ibnu Majah: 1/226
HR. Ibnu Majah: 723, Hakim dalam Al-Mustadrak: 1/205 dan dia mengatakan hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari, dan pendapat ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Mundziri mengatakan dalam At-Targhib wa At-Tarhib: 1/111: "Hadits ini sebagaimana dikatakannya (Hakim). Hadits ini juga dishahihkan oleh Albani dalam kitab Silsilah Hadits Shahih: 42, dan di Shahih Ibnu Majah: 1/226
Sabtu, 29 Disember 2012
Bab : Fatwa Ulama Tidak Boleh Berbilang Jamaah.
Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah :
Soal : Bagaimana hukum syari’at tentang berbilangnya jama’ah-jama’ah, hizb-hizb, dan organisasi-organisasi Islam dengan perbedaan di antara mereka pada masalah manhaj, uslub, dakwah, dan ’aqidahnya, serta dasar yang mereka berada di atasnya, khususnya (ketika kita ketahui) bahwa jama’ah yang haq itu adalah satu sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits ?
Jawab : Kita memiliki banyak kalimat dan bermacam-macam jawaban sekitar hal ini. Oleh karena itu, kita akan meringkas ucapan padanya. Kita ucapkan : ”Tidak samar bagi seorang muslim yang mengerti kitab dan sunnah dan apa yang ada di atasnya as-salafush-shalih radliyallaahu ’anhum bahwa berpartai-partai serta berkelompok-kelompok dalam jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda pemikirannya – pertama – dan manhaj serta uslub – kedua – bukanlah dari Islam sedikitpun. Bahkan yang demikian itu termasuk yang dilarang oleh Rabb kita ’azza wa jalla pada lebih dari satu ayat dalam Al-Qur’an Al-Karim, diantaranya :
”Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Ruum : 31 – 32).
Rabb kita juga berfirman :
”Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Huud : 118 – 119).
Dalam ayat ini Allah tabaraka wa ta’ala mengecualikan dari orang-orang yang berselisih yang pasti akan terjadi secara kauniyyah (taqdir) dan bukan secarasyar’iyyah (bukan perintah syar’i). Dia mengecualikan dari perselisihan itu kelompok yang dirahmati. Dia berkata : { إلا مَن رَحِم رَبُك} ”kecuali yang dirahmati oleh Rabb-mu”.
Tidak ada kebimbangan dan keraguan bahwa jama’ah yang menginginkan dengan kesungguh-sungguhan yang tingi dan ikhlash karena Allah ’azza wa jalla untuk menjadi umat yang dirahmati yang dikecualikan dari perselisihan yang mesti terjadi secara kauni ini. Sesungguhnya itu tidak ada jalan lain untuk mencapai kepadanya dan untuk mewujudkan secara amal dalam masyarakat Islam kecuali dengan kembali kepada Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, dan kepada apa yang ada di atasnya para pendahulu kita yang shalih (salafunash-shalih).
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menjelaskan manhaj dan jalan yang selamat tidak hanya dalam satu hadits yang shahih. Misalnya (hadits) : ”Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pada suatu hari menggaris di tanah satu garis lurus, kemudian beliau menggariskan di sekitarnya garis-garis yang pendek dari sisi garis yanglurus tadi. Kemudian beliau membaca firman Allah : ”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am : 153). Dan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melewati dengan jarinya garis lurus tadi dan berkata :”Ini adalah jalan Allah, dan ini jalan-jalan dari sisi garis lurus tadi” – dan beliau bersabda : ”Dan di atas setiap jalan itu ada syaithan yang mengajak kepadanya”.
Tidak ada keraguan lagi bahwa jalan-jalan yang pendek tersebut itulah yang diperankan oleh jama’ah-jama’ah dan partaipartai yang bermacam-macam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim yang semangat untuk menjadi golongan yang haq dari kelompok yang selamat (al-firqatun-najiyyah) untuk berjalan di jalan yang lurus dan agar tidak mengambil jalan ke kanan dan ke kiri. Tidak ada di sana satu pun hizb yang selamat kecuali hizbullah tabaraka wa ta’ala yang telah sampai kepada kita dalam Al-Qur’anul-Karim :
Tidak ada keraguan lagi bahwa jalan-jalan yang pendek tersebut itulah yang diperankan oleh jama’ah-jama’ah dan partaipartai yang bermacam-macam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim yang semangat untuk menjadi golongan yang haq dari kelompok yang selamat (al-firqatun-najiyyah) untuk berjalan di jalan yang lurus dan agar tidak mengambil jalan ke kanan dan ke kiri. Tidak ada di sana satu pun hizb yang selamat kecuali hizbullah tabaraka wa ta’ala yang telah sampai kepada kita dalam Al-Qur’anul-Karim :
”Ketahuilah, sesungguhnya hizbullah itulah yang akan menang”.
Kalau begitu, seluruh hizb yang bukan hizbulah, maka tidak lain ia merupakanhizbusy-syaithan dan bukan hizbur-rahman. Dan tidak ada kebimbangan dan keraguan bahwa berjalan di atas jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim) membutuhkan pengetahan tentang jalan yang lurus tersebut dengan pemahaman yang benar. Dan tidak akan terjadi hanya dengan berkelompok, berpartai buta atas kalimat Islam – yang itu merupakan kalimat yang haq – namun mereka tidak memahami Islam tersebut sebagaimana pemahaman yang diturunkan Allah kepada hati Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam.
Oleh karena itu, ciri-ciri golongan yang selamat yang dijelaskan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika ditanya tentangnya adalah :
”Ia adalah siapa saja yang aku dan para shahbaatku berada di atasnya”.
Jadi, hadits ini memberikan pengertian kepada seorang pembahas yang sungguh-sungguh untuk mencari pengertian ash-shiraatul-mustaqiim bahwasannya wajib untuk berada di atas ilmu tentang dua perkara yang sangat penting :
Pertama : apa yang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ada di atasnya.
Kedua : apa yang para shahabat beliau radliyallaahu ’anhum berada di atasnya.
Yang demikian karena para shahabat yang mulia itulah yang menukil kepada kita pertama kali petunjuk Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan sunnahnya – itu yang pertama; sedangkan yang kedua, : merekalah yang paling baik dalam mempraktekkan sunnah ini dengan sunnah amaliyyah. Maka tidak mungkin bagi kita jika keadaan seperti ini untuk mengenal sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dengan pemahaman yang benar kecuali dengan jalan atau dengan melalui para shahabatnya....... Yang membuktikan atas hal ini adalah bahwa pemahaman Islam yang benar tidak ada jalannya kecuali dengan mengetahui sirah para shahabat dan bagaimana mereka mempraktekkan Islam yang agung ini yang telah mereka terima dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam; apakah dengan ucapannya, perbuatannya, atau dengan persetujuannya.
Dengan demikian, kita meyakini dengan mantap bahwa setiap jama’ah yang tidak tegak tomggak-tonggaknya di atas asas Al-Kitab dan As-Sunnah serta manhaj as-salafush-shalih dengan dirasah (pelajaran) yang sangat luas, mencakup segala hukum-hukum Islam, yang besar dan yang kecil, ushul dan furu’-nya, maka jama’ah tersebut bukanlah Al-Firqatun-Najiyyah yang berada di atas ash-shiraathul-mustaqiim yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits yang shahih.
Jika kita anggap ada jama’ah-jama’ah yang berpencar-pencar di negeri-negeri Islam dengan manhaj ini, maka ini bukan hizb-hizb (yang dilarang oleh ayat tadi). Tetapi itu sesungguhnya adalah jama’ah yang satu, satu manhaj dan satu jalannya. Adapun berpencarnya mereka di berbagai negeri bukanlah merupakan perpecahan dalam pemikiran, aqidah, dan manhaj; tetapi mereka berpisah hanya karena terpisahnya tempat-tempat mereka di banyak negeri. Hal itu berbeda dengan jama’ah-jama’ah dan hizb-hizb yang berada di satu negeri, tetapi masing-masing membanggakan apa yang ada pada diri mereka. Kita tidak yakin jika hizb-hizb ini berada di jalan yang lurus. Bahkan kita mantap dengan mengatakan bahwasannya jama’ah-jama’ah tersebut berada di jalan-jalan yang di atasnya ada syaithan yang mengajak kepadanya. Semoga ini adalah jawaban dari apa yang telah lewat”
[selesai – Fatawaa Asy-Syaikh Al-Albani oleh ‘Ukasyah bin ‘Abdil-Manan Ath-Thibi, cet. I, Maktabah At-Turats Al-Islamy, hal. 106 – 114].
Teks Asli :
Fadliilatusy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah : Soal : Apakah ada nash-nash dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam yang di dalamnya membolehkan berbilangnya jama’ah dan al-ikhwan ?
Jawab : Ya,.... aku katakan : Tidak ada dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah apa-apa yang membolehkan berbilangnya hizb-hizb dan jama’ah-jama’ah. Akan tetapi, yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah adalah mencela yang demikian itu. Allah ta’ala telah berfirman :
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (QS. Al-An’am : 159).
Dan Dia juga berfirman :
”Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Ruum : 32).
Tidak diragukan lagi bahwasannya hizb-hizb inilah yang dinafikkan oleh apa-apa yang diperintahkan Allah dengannya. Bahkan, apa-apa yang dianjurkan oleh Allah padanya (untuk bersatu serta tidak berpecah-belah) adalah seperti firman-Nya :
”Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku” (QS. Al-Mukminuun : 52).
Adapun ucapan mereka : ”Sesungguhnya tidak mungkin bagi dakwah akan menjadi kuat kecuali di bawah sebuah hizb (jama’ah)”.
Kita katakan : ”Ini tidak benar, bahkan sesungguhnya dakwah menjadi kuat jika setiap manusia itu terikat di bawah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallalaahu ’alaihi wasallam dengan mengikuti atsar Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam dan para khalifahnya yang lurus”.
[selesai – kaset : Majmuu’ Kalaamil-’Ulamaa fii ’Abdirrahman ’Abdil-Khaliq (Kumpulan Perkataan Para Ulama terhadap ’Abdurrahman ’Abdul-Khaliq) – side B].
Bab : Contohi Rasulullah
Lihatlah Rasulullah. Beliau rela untuk tetap berdakwah walau banyak sekali ujian yang harus dilalui. Beliau rela dimusuhi, diperangi, dicaci maki, dianggap orang gila, dan disakiti. Hanya satu yang menguatkan beliau: Aku lakukan dakwah ini semata untuk Allah, tak berharap imbalan dari manusia.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/25986/sumber-energi-itu-untuk-allah/#ixzz2GOfWF2Gq
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/25986/sumber-energi-itu-untuk-allah/#ixzz2GOfWF2Gq
Jumaat, 28 Disember 2012
Bab : Tetangga
Islam menginginkan terciptanya kehidupan bermasyarakat yang nyaman dan tenteram. Bahkan bagian dari keimanan seorang muslim adalah sikapnya terhadap sang tetangga. Rasulullah SAW mengingatkan suatu ketika : “Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman”. Para shahabat bertanya siapakah mereka wahai Rasulullah? “Yaitu orang yang tidak memberikan rasa aman bagi tetangganya dari kejahatan dirinya”
(HR Muslim)
(HR Muslim)
Rabu, 26 Disember 2012
Bab : Wanita Solehah
“Apabila diperintah ia taat, apabila dipandang menyenangkan hati suaminya, dan apabila suaminya tidak ada dirumah, ia menjaga diri dan harta suaminya.” (HR.Ahmad dan An-Nasa’i, di Hasan-kan oleh Albani dalam Irwa’ no.1786)
Selasa, 25 Disember 2012
Bab : Jangan Mengharamkan Benda-Benda Yang Baik
Surah Al Maa'idah | |
Ayat 87 | |
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ | |
|
Khamis, 13 Disember 2012
Bab: Dermawan dan Bakhil
“Orang dermawan itu dekat kepada Allah, dekat pada syurga, dekat dengan manusia dan jauh daripada neraka. Sedang orang bakhil itu jauh daripada Allah, jauh daripada syurga, jauh daripada manusia, namun dekat dengan neraka. Sungguh orang bodoh yang suka memberi itu lebih baik pada pandangan Allah daripada orang alim yang bakhil.”
(Riwayat Tirmidzi)
Sumber Mencari Kebahagian Hidup.
Jumaat, 7 Disember 2012
Bab : Orang Beriman Yang Berjaya
Surah Al Mu'minuun
| |
Ayat 1
| |
| |
Sesungguhnya berjayalah orang yang beriman.
|
Ayat 2
| |
| |
Iaitu mereka yang khusyuk dalam sembahyangnya.
|
Ayat 3
| |
| |
Dan mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia.
|
Ayat 4
| |
| |
Dan mereka yang berusaha membersihkan hartanya dengan menunaikan zakat harta itu.
|
Ayat 5
| |
| |
Dan mereka yang menjaga kehormatannya.
|
Ayat 6
| |
| |
Kecuali kepada isterinya atau hamba sahayanya, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
|
Ayat 7
| |
| |
Kemudian, sesiapa yang mengingini selain dari yang demikian, maka merekalah orang yang melampaui batas.
|
Ayat 8
| |
| |
Dan mereka yang menjaga amanah dan janjinya.
|
Ayat 9
| |
| |
Dan mereka yang tetap memelihara sembahyangnya.
|
Ayat 10
| |
| |
Mereka itulah orang yang berhak mewarisi.
|
Ayat 11
| |
| |
Yang akan mewarisi Syurga Firdaus; mereka kekal di dalamnya.
|
Selasa, 4 Disember 2012
Bab : Mati Syahid
Subhanallah,
Asy-Syahid di dalam gambar ialah Khalil al-Sharif Khalil Rahman.
Beliau syahid 16 tahun yang lalu.
Kuburnya dibuka untuk menanam Syahid yang baru di sebelahnya, namun yang mengejutkan ialah selepas ia dibuka, jasadnya masih kekal seakan baru ditanam.
p/s:Pengorbanan rakyat Palestin mempertahankan tanahair mereka direstui Allah dengan memberi kepada mereka sebagai Asy-Syahid.......insya Allah moga kita juga mempunyai kesanggupan sebagai Asy-Syahid.
Sumber gambar : Suwar Min Ghazza & page Fb Aman Palestin Mesir
Bab : Perayaan Orang Kafir
Hukum Menyambut dan Ikut Merayakan Hari Raya atau Pesta-pesta Orang-orang
Kafir
Syaikh
Shalih bin Fauzan al-Fauzan خفظه
الله
Hukum ikut merayakan pesta, Walimah (pesta pernikahan,-peny),
Hari Bahagia atau Hari Duka mereka dengan hal-hal yang Mubah serta
berta'ziyah pada musibah mereka.
Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahniah) atau ucapan
belangsungkawa (ta'ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala'
dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti
pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka hal itu diharamkan berdasarkan
larangan-larangan ini. Sebagaimana haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau
membuka jalan bagi mereka.
Imam Ibnul Qayyim رحمه
الله berkata, "Hendaklah berhati-hati jangan sampai terjerumus
sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha
mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, "Semoga Allah membahagiakan
kamu dengan agamamu", atau "memberkatimu dalam agamamu", atau berkata, "Semoga
Allah memuliakannmu". Kecuali jika berkata, "Semoga Allah memuliakanmu dengan
Islam", atau yang senada dengan itu. Itu semua tahniah dengan
perkara-perkara umum.
Tetapi jika tahni'ah itu dengan syi'ar-syi'ar kufur yang khusus
milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, "Selamat
hari raya Natal" umpanya atau "Berbahagialah dengan hari raya ini" atau yang
senada dengan itu, maka jika yang mengucapakannya selamat dari kekufuran, dia
tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan
ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib ; bahkan di sisi Allah hal itu
lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr,
membunuh orang atau berzina atau sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari
keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang
melakukan bid'ah, maksiat atau kekufuran maka dia telah menantang murka Allah.
Para ulama wira'i (sangat menjauhi yang
makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni'ah
kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai
hakim, qadhi, dosen, atau mufti; demi untuk menghindari murka Allah dan
laknat-Nya. (Ahkam
Ahli Dzimmah, tahqiq Dr Subhi Shalih, 1/205-206)
Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahniah kepada orang-orang
kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika
mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan
tahni'ah atas hari-hari raya mereka atau syi'ar-syi'ar mereka adalah haram
hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada
kekufuran.[]
________________
Sumber : Ibnumajjah.wordpres
Isnin, 3 Disember 2012
Bab : Memburu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ، وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ
فَكُلْ
“Adapun binatang yang engkau buru dengan anjingmu yang terlatih dan engkau menyebutkan nama Allah, maka makanlah. Adapun binatang yang engkau buru dengan anjingmu yang tidak terlatih kemudian engkau dapat menyembelihnya, maka makanlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, Abu Daawud, dan yang lainnya].
Sumber : Abul-Jauzaa Blog
Sabtu, 1 Disember 2012
Bab : Pemberian Allah Kepada Orang Bertaqwa
Al Anfaal ayat 29:
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Selasa, 27 November 2012
Bab : Keberkatan Rezeki
Tanda rezeki itu berkat
Ada beberapa sebab yang boleh menyebabkan rezeki tidak berkat. Pertama, kerana ia jelas datang dari sumber pendapatan yang haram seperti berjudi, rasuah, mencuri, menipu, nombor ekor, pelaburan haram dan seumpamanya. Namun, ada yang tidak menyedari bahawa secara halus rezeki itu boleh hilang keberkatan apabila kita yang dibayar upah atau digajikan untuk melakukan sesuatu pekerjaan, atau memikul sesuatu tugasan tetapi tidak melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Sebaliknya apa yang berlaku ialah pelbagai masalah di tempat kerja seperti curi tulang, datang lewat, malas, kerja tidak mencapai kualiti, melakukan kerja lain sewaktu dalam masa bekerja, main-main, dengki, irihati dan seumpamanya.
Oleh itu eloklah dalam artikel kali ini kita lihat apakah antara tanda-tanda keberkatan rezeki bagi membolehkan kita sama-sama melakukan audit diri atau muhasabah.
* Hati semakin dekat dengan Allah dan Jiwa Tenang
Tanda-tanda yang pertama bahawa rezeki itu berkat ialah hati semakin dekat dengan Allah. Kita bukan sahaja menjaga solat lima waktu sebaliknya ditambah dengan amalan-amalan sunat. Mulut juga sentiasa berzikir dan suka pula membaca dan menelaah al-Quran.
* Pemurah
Kita mudah untuk memberi sedekah dan menunaikan zakat.
* Jauh daripada kejahatan manusia dan bala
Kalau kita datang lambat, malas, kerja tidak bersungguh-sungguh, hasil kerja tidak berkualiti dan sebagainya, majikan akan menegur, menasihati dan mungkin mengambil tindakan. Namun, gaji penuh tetap diberikan. Majikan tidak pernah mengaudit gaji kita. Misalnya, katalah gaji kita ialah RM1500 sebulan. Disebabkan kita malas maka majikan bayar RM1200 sahaja. Sebabnya, RM300 ringgit itu dipotong atas sikap malas kita itu. Sebaliknya, apabila kita malas, majikan tidak pernah memotong gaji bulanan kita. Namun, kita lupa bahawa Allah menjalankan auditnya. Maka Allah tarik sebahagian rezeki itu dengan pelbagai ujian dan masalah dalam hidup yang datang bertimpa-timpa seolah-olah kita memang bernasib malang. Bulan ini telefon bimbit hilang, bulan depan kereta pula dipecah orang. Kalau begitulah keadaannya maka eloklah kita audit gaji yang diterima setiap bulan sebab bimbang kalau-kalau itulah punca kepada segala masalah tersebut.
* Keluarga harmoni dan anak-anak cemerlang
* Sentiasa merasa cukup dan syukur
Artikel Penuh: http://www.utusan.com.my/utusan/Bicara_Agama/20121125/ba_01/Tanda-rezeki-itu-berkat#ixzz2DN4dJGFY
© Utusan Melayu (M) Bhd
Khamis, 22 November 2012
Bab : Umat Islam Terbaik
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Pasti akan datang kepada ummatku, sesuatu yang telah datang pada Bani Israaiil seperti sejajarnya sandal dengan sandal, sehingga apabila di antara mereka (Bani Israaiil) ada orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terang terangan maka pasti di antara ummatku ada yang melakukan demikian. Sesungguhnya bani Israaiil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan”. Para shahabat bertanya : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?". Beliau menjawab : "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya" [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Hakim 1/218-219, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 & Al-Ausath 5/137 no. 4886, dan yang lainnya; hasan lighairihi].
Sumber : Abul-Jauzaa Blog
Sabtu, 17 November 2012
Bab : Niat
Polemik Pelafalan Niat Dalam Ibadah
Kategori: Fiqh dan Muamalah
4 Komentar //
17 November 2012
Oleh: Syaikh Masyhur Hasan
Salman hafizhahullah
Mengeraskan bacaan niat
tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan
kesepakatan seluruh ulama. Bahkan hal tersebut adalah bid’ah yang
bertentangan dengan syari’at. Jika seseorang berkeyakinan bahwa perbuatan ini
adalah bagian dari ajaran syariat, maka ia orang yang jahil, menyimpang, dan
berhak mendapatkan hukuman ta’zir jika ia tetap bersikeras dengan
keyakinannya, dan tentu saja setelah diberikan pengertian dan penjelasan. Lebih
parah lagi jika perbuatannya itu mengganggu orang yang ada di sebelahnya, atau
ia mengulang-ulang bacaan niatnya. Hal ini difatwakan oleh lebih dari seorang
ulama. Di antaranya Al Qodhi Abu Ar Rabi Sulaiman Ibnu As Syafi’i, ia berkata:
الجهر بالنّية وبالقراءة خلف الإمام ليس من السنّة، بل مكروه، فإن حصل به تشويش على المصلّين فحرام، ومن قال بإن الجهر بلفظ النيّة من السنّة فهو مخطئ، ولا يحلّ له ولا لغيره أن يقول في دين الله تعالى بغير علم
“Mengeraskan bacaan niat atau
mengeraskan bacaan Qur’an di belakang imam, bukan termasuk sunnah. Bahkan
makruh hukumnya. Jika membuat berisik jama’ah yang lain, maka haram. Yang
berpendapat bahwa mengeraskan niat itu hukumnya sunnah, itu salah. Tidak halal
baginya atau bagi yang lain berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu (dalil)”
Di antaranya juga, Abu Abdillah
Muhammad bin Al Qasim At Tunisi Al Maliki, ia berkata:
النيّة من أعمال القلوب، فالجهر بها بدعة، مع ما في ذلك من التشويش على الناس
“Niat itu termasuk amalan hati.
Mengeraskannya bid’ah. Lebih lagi jika perbuatan itu membuat berisik orang
lain”
Di antaranya juga, Asy Syaikh
‘Alauddin bin ‘Athar, ia berkata:
ورفع الصّوت بالنيّة مع التشويش على المصلّين حرام إجماعاً، ومع عدمه بدعة قبيحة، فإن قصد به الرّياء كان حراماً من وجهين، كبيرة من الكبائر، والمنْكِرُ على مَنْ قال بأن ذلك من السنّة مصيب، ومصوّبة مخطئ، ونسبته إلي دين الله اعتقاداً كفر، وغير اعتقاد معصية.
ويجب على كل مؤمن تمكَّن مِن زجره، ومنعه وردعه، ولم ينقل هذا النقل عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، ولاعن أحدٍ من أصحابه، ولا عن أحد ممن يقتدى به من علماء الإسلام
“Meninggikan suara untuk
membaca niat sehingga membuat berisik di antara jama’ah hukumnya haram secara
ijma’ (consensus para ulama). Jika tidak membuat berisik, ia adalah perbuatan
bid’ah yang jelek. Jika ia melakukan hal tersebut dalam rangka riya, maka
haramnya ganda. Ia juga merupakan dosa besar. Yang mengingkari bahwa perbuatan
ini adalah sunnah, ia berbuat benar. Yang membenarkan bahwa perbuatan ini
adalah sunnah, ia salah. Menisbatkan perbuatan ini pada agama Allah adalah
keyakinan yang kufur. Jika tidak sampai meyakini hal tersebut, maka termasuk maksiat.
Setiap muslim wajib dengan serius mewaspadai perbuatan ini, melarangnya dan
membantahnya. Tidak ada satupun riwayat dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam tentang hal
ini, tidak pula dari satupun sahabatnya, tidak pula dari para ulama Islam yang
meneladani mereka”. (Semua nukilan di atas dapat ditemukan di Majmu’ah
Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Demikian juga, melafalkan niat
secara sirr (samar) tidak wajib menurut para imam madzhab yang empat juga para
imam yang lain. Tidak ada seorang pun yang berpendapat hal itu wajib. Baik
dalam shalat, thaharah ataupun puasa. Abu Daud pernah bertanya kepada Imam
Ahmad:
بقول المصلّي قبل التكبير شيئاً؟ قال: لا
“Apakah orang yang shalat
mengucapkan sesuatu sebelum takbir? Imam Ahmad menjawab: tidak ada” (Masa-il Al Imam Ahmad, 31)
As Suyuthi berkata,
ومن البدع أيضاً: الوسوسة في نيّة الصّلاة، ولم يكن ذلك من فعل النبي – صلى الله عليه وسلم – ولا أصحابة، كانوا لا ينطقون بشيء من نية الصلاة بسوى التكبير. وقد قال تعالى: لقد كان لكم في رسول الله أُسوة حسنة
“Termasuk bid’ah, was-was dalam
niat shalat. Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau tidak
pernah begitu. Mereka tidak pernah sedikitpun mengucapkan lafal niat shalat
selain takbir. Dan Allah telah berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله أُسوة حسنة
‘Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik‘ (QS. Al
Ahzab: 21).
Imam Asy Syafi’i berkata,
الوسوسة في النية الصلاة و الطهارة من جهل بالشرع أو خبل بالعقل
“Was-was dalam niat shalat dan
thaharah itu adalah kebodohan terhadap syariat atau kekurang-warasan dalam
akal” (Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu
‘Anil Ibtida’, 28)
Melafalkan niat itu menimbulkan
banyak efek negatif. Anda lihat sendiri orang yang melafalkan niat dengan jelas
dan rinci, lalu baru mencoba bertakbir. Ia menyangka pelafalan niatnya itu
adalah usaha untuk menghadirkan niat. Ibnu Jauzi berkata:
ومن ذلك تلبيسه عليهم فِي نية الصلاة ، فمنهم من يَقُول : أصلى صلاة كذا ، ثم يعيد هَذَا ظنا مِنْهُ أنه قد نقض النية والنية لا تنقض ، وأن لم يرض اللفظ ومنهم من يكبر ، ثم ينقض ثم يكبر ثم ينقض ، فَإِذَا ركع الإمام كبر الموسوس وركع معه فليت شعري مَا الذي أحضر النية حينئذ ، وما ذاك إلا لأن إبليس أراد أن يفوته الفضيلة ، وفي الموسوسين من يحلف بالله لا كبرت غير هذه المرة ، وفيهم من يحلف بالله بالخروج من ماله أَوْ بالطلاق ، وهذه كلها تلبيسات إبليس ، والشريعة سمحة سهلة سليمة من هذه الآفات ، وما جرى لرسول اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ولا لأصحابة شيء من هَذَا
“Di antara bisikan Iblis yaitu
dalam niat shalat. Di antara mereka ada yang berkata ushalli
shalata kadza (saya
berniat shalat ini dan itu), lalu diulang-ulang lagi karena ia menyangka
niatnya batal. Padahal niat itu tidak batal walaupun tidak diucapkan. Ada juga
yang bertakbir, lalu tidak jadi, lalu takbir lagi, lalu tidak jadi lagi. Tapi
ketika imam keburu ruku’, ia serta-merta bertakbir walaupun agak was-was demi
mendapatkan ruku bersama imam. Mengapa begini?? Lalu niat apa yang ia hadirkan
ketika itu?? Tidaklah ini terjadi kecuali karena iblis ingin membuat dia
melewatkan berbagai keutamaan. Diantara mereka juga ada yang besumpah atas nama
Allah untuk bertakbir lebih dari sekali. Ada juga yang bersumpah dengan nama
Allah untuk mengeluarkan harta mereka atau dengan talak. Semua ini adalah
bisikan iblis. Syariat Islam yang mudah dan lapang ini selamat dari semua
penyakit ini. Tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam tidak juga para sahabatnya melakukan
hal demikian” (Talbis Iblis,
138)
Penyebab timbulnya was-was
adalah karena niat terkadang hadir di hati si orang ini dengan keyakinan bahwa
niat itu tidak ada di hatinya. Maka ia pun berusaha menghadirkannya dengan
lisannya. Sehingga terjadi apa yang terjadi. Abu Abdillah Az Zubairi, ulama
Syafi’iyah, telah salah dalam memahami perkataan Imam Asy Syafi’i rahimahullahu
ta’ala yaitu ketika menyimpulkan bahwa wajib melafalkan niat dalam shalat dari
perkataan beliau. Ini disebabkan oleh buruknya pemahaman terhadap ungkapan imam
Asy Syafi’i berikut:
إذا نوى حجّاً وعمرة أجزأ، وإنْ لم يتلفّظ وليس كالصّلاة لا تصح إلا بالنّطق
“Jika seseorang berniat haji atau
umrah maka itu sah walaupun tidak diucapkan. Berbeda dengan shalat, shalat
tidak sah kecuali dengan pengucapan”
Imam An Nawawi berkata:
قال أصحابنا: غلط هذا القائل، وليس مراد الشافعي بالنّطق في الصّلاة هذا، بل مراده التكبير
“Para ulama madzhab kami
berkata, yang berkata demikian telah salah. Bukanlah maksud Imam Asy Syafi’i
itu melafalkan niat dalam shalat, namun maksudnya adalah takbir” (Al Majmu’, 3/243)
Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi
berkata:
لم يقل أحد من الأئمة الأربعة، لا الشّافعيّ ولا غيره باشتراط التلفّظ بالنيّة، وإنما النيّة محلّها القلب باتّفاقهم، إلا أن بعض المتأخرين أوجب التلفّظ بها، وخرج وجهاً في مذهب الشافعي! قال النووي رحمه الله: وهو غلط، انتهى. وهو مسبوق بالإجماع قبله
“Tidak ada seorang imam pun,
baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat
itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam). Hanya
segelintir orang-orang belakangan saja yang mewajibkan pelafalan niat dan
berdalih dengan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i. Imam An Nawawi
rahimahullah berkata itu sebuah kesalahan. Selain itu, sudah ada ijma dalam
masalah ini” (Al Ittiba’, 62)
Ibnul Qayyim berkata:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat beliau
mengucapkan الله أكبر dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya.
Beliau juga tidak pernah sama sekali melafalkan niat. Beliau tidak pernah
mengucapkan ushallli lillah shalata kadza mustaqbilal qiblah
arba’a raka’atin imaaman atau ma’muuman (saya meniatkan shalat ini untuk
Allah, menghadap qiblat, empat raka’at, sebagai imam atau sebagai makmum).
Beliau juga tidak pernah mengucapkan ada-an atau qadha-an juga tidak mengucapkan fardhal
waqti. Ini semua adalah bid’ah. Dan sama sekali tidak ada satu pun
riwayat yang memuat ucapan demikian, baik riwayat yang shahih, maupun yang
dhaif, musnad, ataupun mursal. Juga tidak ada dari para sahabat. Juga tidak ada
istihsan dari seorang tabi’in pun, atau dari ulama madzhab yang empat. Ucapan
demikian hanya berasal dari orang-orang belakangan yang menyalah-gunakan
perkataan imam Asy Syafi’i tentang shalat:
إنها ليست كالصّيام ولا يدخل فيها أحدُ إلا بذكر
‘Shalat itu tidak seperti puasa, memulainya harus dengan dzikir’
Mereka menyangka bahwa dzikir di sini adalah melafalkan niat.
Padahal yang dimaksud Asy Syafi’i adalah takbiratul ihram. Tidak mungkin tidak.
Bagaimana mungkin Asy Syafi’i menganjurkan hal yang tidak pernah sekalipun
dilakukan Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam dalam shalat? Juga tidak pernah
dilakukan sahabatnya juga para khalifah. Demikianlah petunjuk dan kebiasaan
mereka. Andai kita menemukan satu huruf saja dari mereka, maka tentu akan kita
terima. Bahkan kita terima dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang
paling sempurna selain dari mereka. Dan tidak ada sunnah kecuali apa yang
datang dari sang pembawa syari’at, Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam” (Zaadul Ma’ad, 1/201)
Ringkasnya, para ulama dari
berbagai negeri dan berbagai generasi telah menyatakan bahwa melafalkan niat
itu bid’ah. Pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut disunnahkan
adalah pendapat yang salah, tidak sesuai dengan pendapat Imam Asy Syafi’i dan
tidak sesuai dengan dalil-dalil sunnah nabawi,
Diantaranya riwayat dari
‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:
كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يستفتح الصَّلاة بالتّكبير
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir” (HR. Muslim, no.498)
كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يستفتح الصَّلاة بالتّكبير
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir” (HR. Muslim, no.498)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam terhadap orang yang shalatnya jelek,
ketika orang tersebut berkata: ‘kalau
begitu ajarkan saya shalat yang benar‘, beliau bersabda:
إذا قمت إلى الصّلاة فأسبغ الوضوء، ثم استقبل القبلة، فكبّر، ثم اقرأ بما تيسر معك من القرآن
“Jika engkau berdiri untuk
shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat. Lalu bertakbirlah,
lalu bacalah ayat Qur’an yang mudah bagimu”
Dari Abdullah bin Umar
Radhiallahu’anhuma ia berkata:
رأيت النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه
“Aku melihat Nabi Shallallahu’alahi Wasallam memulai shalatnya dengan
takbir, lalu mengangkat kedua tangannya” (HR. Bukhari no.738)
Nash-nash ini dan juga yang
lain yang begitu banyak dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menunjukan bahwa memulai shalat adalah dengan takbir dan tidak
mengucapkan apapun sebelumnya. Hal itu juga dikuatkan dengan ijma para ulama
bahwa :
إذا خالف اللسان القلب، فالعبرة بما في القلب
“Jika ucapan lisan berbeda dengan apa yang ada di hati, maka yang
dianggap adalah apa yang ada di hati”
Jika demikian, lalu apa
faidahnya mengucapkan niat? Jika telah sepakat dan diyakini secara pasti bahwa
apa yang diucapkan itu tidak ada gunanya jika bertentangan dengan apa yang ada
di dalam hati.
Lalu hal ini pun menunjukkan
adanya kegoncangan dalam pendapat orang yang mewajibkan menggandengan niat
dengan takbiratul ihram dan mewajibkan atau menganjurkan niatnya dilafalkan.
Bagaimana bisa melafalkan niat ketika lisan seseorang sibuk mengucapkan takbir?
Dalam hal ini Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata: “Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
لايجوز ما لم يكن الذّكر اللساني مقارناً للقلبي. وأكثر النّاس عاجزون عن ذلك باعترافهم. والذي يدّعي المقارنة، يدّعي ما يردّه صريح العقل. وذلك أن اللسان ترجمان ما يحضر بالقلب، والمترجم عنه سابق قطعاً على أن الحروف الملفوظ بها في النيّة، منطبقة إلى آخر الزّمان، وهي منقضية منصرمة، لا تتصور المقارنة بين أنفسها، فكيف تتصور مقارنتها لما يكون قبلها؟!)
“Tidak boleh melakukan
perbuatan yang ucapan lisannya berbeda dengan ucapan hatinya secara bersamaan.
Dan kebanyakan manusia mengakui mereka tidak bisa melakukan hal itu. Orang yang
mengaku bisa melakukannya pun, ia telah mengakui hal yang ditolak oleh akal
sehat. Karena lisan itu penerjemah apa yang hadir di dalam hati. Dan sesuatu
yang diterjemahkan itu pasti ada lebih dahulu, karena setiap huruf yang
diucapkan itu pasti dilandasi niat. Demikian seterusnya hingga selesai. Yang
setelahnya adalah kelaziman dari sebelumnya. Tidak tergambar menggandengkan
keduanya jika bersamaan, lalu bagaimana lagi menggabungkan sesuatu yang ada
sebelumnya?”
Referensi: Al
Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan
Salman, Dar Ibnul Qayyim, hal. 91-96.
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel Polemik Pelafalan Niat Dalam Ibadah — Muslim.Or.Id by null
Langgan:
Catatan (Atom)