Khamis, 27 Februari 2014

Nasihat Ibnu Qayyim

10 nasihat Ibnu Qayyim tentang perkara yang sia-sia

  • Ilmu yang tidak diamalkan. Artinya tidak menjadi manfaat bagi dirinya sendiri dan orang banyak.
  • Amalan yang tidak ikhlas dan tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW dan para sahabat.
  • Harta yang tidak diinfakkan, tidak menjadi nikmat di dunia (artinya tidak dijalankan fungsi sosial dari harta tersebut) juga tidak menjadi investasi untuk kehidupan akhirat.
  • Hati yang kosong dari cinta dan kerinduan kepada Allah SWT.
  • Tubuh yang tidak digunakan untuk ta’at, mengabdi serta mencintai-Nya.
  • Mencintai Allah namun tidak berpegang kepada ridha Allah dan mengikuti perintah-Nya.
  • Waktu yang tidak diisi untuk memperbaiki hal yang terlewatkan darinya, serta tidak berbuat kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
  • Pikiran yang digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
  • Membantu orang yang tidak mendekatkan diri kita pada Allah, namun juga tidak mendatangkan kebaikan untuk dunia.
  • Takut serta mengharap kepada manusia. Yang sebenarnya ubun-ubun semua manusia berada dalam genggaman Allah. Dia adalah tawanan yang dikuasai oleh Allah, tidak dapat menghindarkan hal-hal yang membahayakan dari dirinya serta tidak dapat mendatangkan manfaat untuk dirinya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan dirinya serta tidak dapat membangkitkan dirinya.
Semoga bermanfaat.
Sumber : Blog Alhabib


Ahad, 23 Februari 2014

Bab Shalat

عَن ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، 
وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا "
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai tempat untuk shalat, dan jangan menjadikannya sebagai kuburan” 

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 432 & 1187].

Hadis Hari Ini

Nabi Muhammad s.a.w pernah bersabda: 

"Tiada dosa yang lebih layak untuk disegerakan Allah s.w.t. seksanya didunia disamping apa yang disediakan kelak diakhirat daripada aniaya dan memutuskan hubungan kekeluargaan"

 (Riwayat Al-Tarmizi & Ibn Majah dari Abu Bakar Al-Siddiq .ra.)

Jumaat, 21 Februari 2014

Hadits Hari Ini


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:
"Tidak sesuatu pun mengenai seseorang muslim, baik letih, penyakit, gelisah, sedih, gangguan, atau kegundahan, bahkan duri yang menancap pada anggota tubuhnya, melainkan Allah menebus dengannya sebagian dari kesalahannya." [HR.Bukhari dan Muslim]
Sumber : alQiyamah-Moslem Weblog

Khamis, 13 Februari 2014

Bahaya Bid'ah

Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).
Ketika Imam Malik rahimahullah membicarakan ayat di atas, beliau menyinggung bahaya bid’ah. Beliau berkata, “Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam dan ia menganggapnya hasanah (baik), ia berarti telah mengklaim bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah telah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu …” Jika di saat Rasul hidup, sesuatu bukanlah termasuk ajaran Islam, maka saat ini juga bukanlah ajaran Islam.” (Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam Al I’tishom)

Fatwa Imam Ahmad bin Hambal

 Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Dalam kitab Al-Adab Asy Syar’iyyah:

وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .

“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al-Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Imam Ibnu Muflih, Al-Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Syamilah)

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/02/12/46193/fatwa-fatwa-para-ulama-tentang-kebolehan-pemilu/#ixzz2tBJbI4Wm 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Rabu, 12 Februari 2014

Hukum Biji Tasbih

Hukum Biji Tasbih


Bagaimana hukum biji tasbih? Apakah diperbolehkan berdzikir dengan menggunakan biji tasbih? Rincian yang baik mengenai hukum biji tasbih, dibolehkan jika ada kebutuhan untuk menggunakannya. Sedangkan jika tujuan menggunakannya untuk memamerkan amalan, maka hukumnya haram karena itu termasuk riya’ atau memamerkan amalan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan (disunnahkan). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.
Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukan seperti itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.
Kesimpulannya, jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.
Adapun memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang yang riya’ tanpa ada kebutuhan.
Jika benar kemungkinan pertama maka hukum perbuatan tersebut adalah haram.
Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh.
Sesungguhnya memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca Al Qur’an kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar”. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 506)
Kalau kita perhatikan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi hukum tasbih sebagai berikut:
1- Jika ada kebutuhan untuk menggunakan biji tasbih, maka dibolehkan.
2- Jika untuk memamerkan amalan dan agar disebut orang yang  rajin dzikir dengan memamerkan biji tasbih sambil mengalungkan atau memakai gelang di tangan, maka seperti itu diharamkan dan termasuk dalam perbuatan riya’.
Namun yang dianjurkan adalah berdzikir dengan menggunakan jari-jemari karena setiap jari ini akan ditanyai pada hari kiamat.
Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertasbih (ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis (mensucikan Allah), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak  bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. At Tirmidzi no. 3583 dan Abu Daud no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman dan dishahihkan Adz Dzahabi. Sanad hadits ini dikatakan hasan oleh Al Hafizh Abu Thohir)
Masalah di atas adalah masalah khilafiyah yang bisa ditolerir. Jadi saling berlapang dadalah dalam menyikapi perbedaan semacam ini.
Wallahu a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik.